"Saya, Ayah, dan Tragedi 1965" karya Nani Nurrachman Sutojo : Review Buku


"Sejarah bangsa Indonesia tidak dapat dipenggal-penggal. Dia juga bukan tafsir satu pihak untuk kepentingan praktis. Sejarah bangsa Indonesia disusun dari penggalan-penggalan kisah individual warga negara. Ia menyatu dalam pergolakan batin setiap warga secara umum sepanjang peristiwa ke peristiwa."


Judul : Kenangan Tak Terucap Saya, Ayah, dan Tragedi 1965
Pengarang : Nani Nurrachman Sutojo
Penerbit : Buku Kompas
Tahun terbit : Cetakan pertama, Februari 2013
Jumlah halaman : 228

Saya membeli buku ini tepat tanggal 30 September 2018. Buku ini ditulis oleh Ibu Nani Nurrachman Sutojo, anak dari Mayjen Sutojo, salah satu korban dari tragedi 1965. Pada awalnya, saya sama sekali belum mengetahui latar belakang ini, saya memilih dan tertarik dengan judul dan covernya. Saya memang suka membaca sejarah, tapi keberadaan buku ini membuat saya sadar, masih banyak topik sejarah yang belum saya telusuri.

Mari kita mulai. Ibu Nani, sang penulis adalah seorang dosen senior psikologi di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Beliau meraih gelar doktor dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Bidang ilmu yang beliau pelajari banyak terkait dengan isi buku ini.

Secara garis besar, buku ini banyak memuat latar belakang keluarga beliau. Tidak hanya menceritakan bagaimana terjadinya Tragedi 1965 dari kacamata penulis, tapi juga diawali dengan cerita ibunda penulis, yang mana seorang perempuan kelahiran Jawa. Ibunda adalah sosok yang lurus, patuh adat, pintar memasak dan memilih batik. Tipikal istri idaman, begitu.

Dalam kata pengantar, beliau berharap buku ini dapat membawa makna baru Trafedi 1965 dengan memaafkan masa lalu, tapi tidak melupakannya.  Beliau juga menuliskan bagaimana penulis dapat melalui masa-masa kritisnya dengan berbagai aspek, mulai dari memadukan budaya Inggris-Jawa, pendidikan agama dan pengalaman spiritualnya. Beliau juga mengalami masa kecil yang banyak berpindah tangan.  Anak yang merasakan kekosongan pada 5 tahun pertamanya karena terlalu banyak yang mengurus, tak ada satu yang fokus dan tak ajeg sehingga pada masa kecilnya, penulis merasa kesepian. (another-side-lesson).

Ada satu hal penting yang saya tandai dari isi buku ini, bahwa buku-buku teks sejarah selalu memuat peristiwa dengan konteks "menang-kalah", tetapi buku ini ditulis berdasarkan sudut pandang seorang korban dari tragedi atau peristiwa sejarah ini. Sudut pandang sejarah lain yang kedepannya ingin saya tanamkan pada diri saya sendiri. Penulis juga mengajak kepada pembaca, untuk memaafkan tapi tidak melupakan. Kita juga perlu melihat runtuhnya kemanusiaan saat tragedi terjadi dan bagaimana rekonsiliasi dilakukan tanpa sadar.

Tidak hanya pandangan penulis terkait Tragedi 1965, sosok perempuan juga turut dibahas. Perempuan sebagai makhluk sosial memiliki tanggung jawab membangun masyarakat yang sama dengan laki-laki. Maka laki-laki dan perempuan adalah mitra dan rekan yang sejajar. Walau tentu saja hal ini sulit diterapkan dalam budaya patriarki yang sangat lekat di masyarakat Indonesia.

Penulis menaruh kesukaan pada membaca buku, salah satunya buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Kemudian ketika beliau membaca biografi R.A Kartini dan merasakan kedekatan dengannya. Penulis dan R.A Kartini menghadapi masalah yang mirip, seperti benturan kebudayaan dan penanaman nilai yang ia dapat dari buku.

Sedikit banyak saya mempelajari ilmu psikologi dari essai karangan beliau yang tercantum pada buku ini. Bagaimana harkat serba nalar dan martabat serba rasa diaplikasikan dengan rekonsiliasi bangsa terhadap penerimaan sejarah masa lampau.

Satu kalimat yang diucapkan oleh ayah dari penulis, yaiu "Nan, banyak hal lain di dalam kehidupan yang dianggap benar belum tentu diakui sebagai kebenaran, belum tentu dianggap benar oleh semua orang." Kebenaran menjadi sesuatu yang relatif. Kalimat tadi lagi-lagi menguatkan pikiran saya untuk melihat sejarah dari perspektif lain.

"Oleh karenanya kebencian terhadap pandangan orang lain tidak perlu sampai membenci manusianya. Apalagi mengasingkannya dari masyarakat di mana mereka memiliki hak untuk hidup di dalamnya." What a word. Sebuah wejangan yang memang mantap betul.

Secara keseluruhan, buku ini membuka mata saya terhadap perspektif baru mengenai sejarah dan saya sangat merekomendasikan buku ini kepada teman-teman yang sedang membaca di blog saya. Sampai jumpa di tulisan saya selanjutnya. Cheers!


Komentar

Postingan Populer